Senin, 25 Juli 2011

Sulitnya Mencari Orang yang Jujur


Mencari orang yang jujur di zaman ini amatlah sulit. Sampai pun ia rajin shalat, jidadnya terlihat rajin sujud (karena saking hitamnya), belum tentu bisa memegang amanat dengan baik. Ada cerita yang kami saksikan di desa kami.
Seorang takmir masjid yang kalau secara lahiriyah nampak alim, juga rajin menghidupkan masjid. Namun belangnya suatu saat ketahuan. Ketika warga miskin mendapat jatah zakat dan disalurkan lewat dirinya, memang betul amplop zakat sampai ke tangan si miskin. Tetapi di balik itu setelah penyerahan, ia berkata pada warga, “Amplopnya silakan buka di rumah (isinya 100.000 per amplop). Namun kembalikan untuk saya 20.000.” Artinya, setiap amplop yang diserahkan asalnya 100.000, namun dipotong sehingga tiap orang hanya mendapatkan zakat 80.000. Padahal dari segi penampilan tidak ada yang menyangka dia adalah orang yang suka korupsi seperti itu. Tetapi syukurlah, Allah menampakkan belangnya sehingga kita jadi tahu tidak selamanya orang yang mengurus masjid itu termasuk orang-orang yang jujur.
Perintah untuk Berlaku Jujur
Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala,
دِقِينَيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّا
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At Taubah: 119).
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)
Dalam hadits dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta.  Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)
Begitu pula dalam hadits dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200, hasan shahih). Jujur adalah suatu kebaikan sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan. Yang namanya kebaikan pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu membawa kegelisahan dalam jiwa.
Basyr Al Haafi berkata,
من عامل الله بالصدق، استوحش من الناس
Barangsiapa yang berinteraksi dengan Allah dengan penuh kejujuran, maka manusia akan menjauhinya.” (Mukhtashor Minhajil Qoshidin, 351). Karena memang jujur itu begitu asing saat ini, sehingga orang yang jujur dianggap aneh.
Perintah untuk Menjaga Amanat
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. An Nisa’: 58)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ
Tunaikanlah amanat kepada orang yang menitipkan amanat padamu.” (HR. Abu Daud no. 3535 dan At Tirmidzi no. 1624, hasan shahih)
Khianat ketika diberi amanat adalah di antara tanda munafik. Dari Abu Hurairah, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Ada tiga tanda munafik: jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika diberi amanat, ia khianat.” (HR. Bukhari no. 33)
Jadi, jika dititipi amanat, jagalah amanat tersebut itu dengan baik. Jangan sampai dikorupsi, jangan sampai dikurangi dan masuk kantong sendiri. Ingatlah ancaman dalam dalil di atas sebagaimana dikata munafik.
Kunci Utama
Kunci utama agar kita menjaga amanat ketika dititipi uang misalnya, sehingga tidak dikorupsi atau dikurangi adalah dengan memahami takdir ilahi. Ingatlah bahwa setiap orang telah ditetapkan rizkinya. Allah tetapkan rizki tersebut dengan adil, ada yang kaya dan ada yang miskin. Allah tetapkan ada yang berkelebihan harta dari lainnya, itu semua dengan kehendak Allah karena Dia tahu manakah yang terbaik untuk hamba-Nya. Sehingga kita hendaklah mensyukuri apa yang Allah beri walaupun itu sedikit.
اللهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ القَوِيُّ العَزِيزُ
Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki kepada yang di kehendaki-Nya dan Dialah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Asy Syura: 19)
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27) Ibnu Katsir rahimahullah lantas menjelaskan,“Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh , tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/278)
Jika setiap orang memahami hal di atas, maka sungguh ia tidak akan korupsi, tidak akan menipu dan lari dari amanat. Realita yang kami saksikan sendiri menunjukkan bahwa mencari orang yang jujur itu amat sulit di zaman ini. Kita butuh menyeleksi dengan baik jika memberi amanat pada orang lain. Hanya dengan modal iman dan takwa-lah serta merasa takut pada Allah, kita bisa memiliki sifat jujur dan amanat.
Moga Allah Memberi Akhlak Mulia
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ
Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’ [Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar].” (HR. Tirmidzi no. 3591, shahih)
Wallahu waliyyut taufiq.

Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal


Baca Selengkapnya - Sulitnya Mencari Orang yang Jujur

Selasa, 19 Juli 2011

Kikir, Membuat Hidup Makin Fakir


وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr 9)
Abu al-Hiyaj bercerita, “Saya melihat seorang syeikh sedang thawaf di Baitullah sembari berdoa, ‘Rabbi qiniy syuhha nafsi, Rabbi qiniy syuhha nafsi, Wahai Rabbi, jauhkanlah diriku dari kekikiran, wahai Rabbi, jauhkanlah diriku dari kekikiran…” Dia terus menerus membaca doa itu dan tidak menambahnya dengan yang lain. Lalu saya mencari tahu tentangnya, ternyata beliau adalah sahabat Abdurrahman bin Auf RA. Akupun menemui beliau dan bertanya tentang alasan beliau membaca doa itu, lalu beliau membacakan firman Allah,
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr 9)
Ingin mengumpulkan harta sebanyak mungkin, dan bakhil mendermakannya selain untuk keinginan nafsunya, adalah tabiat buruk yang disandang banyak manusia. Dengan sifat itu, mereka menyangka bisa meraih keberuntungan. Namun ayat ini justru meyakinkan sebaliknya. Keberuntungan bisa didapatkan ketika seseorang terhindar dari sifat kekikiran. Sifat kikir mengundang banyak sekali kerugian dan keburukan, maka barangsiapa yang terhindar darinya, maka dia terhindar dari banyak kerugian dan keburukan.
Makna ’Syuhha nafsuhu’ tidak hanya sebatas bakhil, atau menolak untuk memberi. Akan tetapi juga disertai ambisi untuk memiliki apa-apa yang sudah dimiliki oleh orang lain. Dari definisi ini, bisa dibayangkan betapa besar kerugian yang akan dialami oleh orang yang berkarakter kikir.
Kerugian pertama dialami oleh hati. Orang yang kikir tak pernah merasakan lapangnya dada, atau puasnya hati saat memiliki. Panasnya hati saat berambisi terhadap sesuatu yang belum dimiliki, melalaikan dirinya dari kebahagiaan yang mestinya dia rasakan karena telah memiliki sesuatu yang bisa dinikmati. Derita ini tidak pernah berkurang kadarnya, meski dia telah berhasil meraih ambisinya. Karena sifat tamaknya segera mengalihkan pandangannya kepada kenikmatan lain, sebelum dia sempat menikmati hasil jerih payahnya. Jika keberhasilannya meraih tujuan tak bisa membuat hati menjadi nyaman dan tenang, lantas bagaimana jika usahanya menemui jalan buntu, betapa hatinya makin terbakar karenanya. Sungguh beruntung, jiwa yang terhindar dari kikir dan bakhil.
Kerugian kedua adalah miskin teman dan renggangnya hubungan kekerabatan. Orang yang kikir akan dijauhi, karena tak ada untungnya bergaul dengan orang yang kikir dan bakhil. Ambisi dan sifat rakusnya bahkan membahayakan siapapun yang dekat dengannya. Hartanya terancam, kehormatannya teranacam, bahkan terkadang nyawa juga tak aman dari ancaman. Karena orang yang kikir hanya peduli dengan dirinya sendiri, dan tidak memikirkan kepentingan orang lain. Nabi SAW bersabda,
”Jauhilah oleh kalian sifat kikir (syuhh). Karena sifat itulah yang membinasakan orang-orang sebelum kalian. Sifat kikir menyuruh mereka berlaku zhalim, maka merekapun berlaku zhalim. Kikir menyuruh mereka memutus kekerabatan, merekapun memutusnya.” (HR Abu Dawud)
Harta yang mestinya berfaedah menenangkan jiwa, juga mengikat sahabat dan kerabat, justru menjadi petaka bagi orang yang bakhil. Padahal persahabatan, persaudaraan dan kekerabatan adalah faktor penting yang mendukung kebahagiaan dan ketenangan. Jauh lebih penting dari sekedar mempertahankan harta dan menimbunnya.
Adalah Qais bin Sa’ad bin Ubadah RA dikenal sebagai orang yang suka berderma. Suatu hari beliau sakit, namun teman-temannya tak kunjung menjenguknya. Beliau merasa penasaran, lalu mencari tahu tentang sebabnya. Hingga kemudian diperoleh jawaban, bahwa mereka malu untuk datang karena masih punya tanggungan hutang kepada beliau. Beliau berkata, ”Alangkah buruknya harta yang menghalangi seseorang untuk menjenguk saudaranya.” Lalu beliau menyuruh untuk diumumkan bahwa siapapun yang memiliki beban hutang kepada Qais, maka diputihkan dan dianggap lunas. Maka sore harinya daun pintunya rusak lantaran banyaknya orang yang menjenguk beliau. Sungguh beruntung orang yang terhindar dari sifat kikir dan bakhil.
Fakir di Dunia, Siksa di Neraka
Meski sifat kikir diharapkan bisa mendatangkan keuntungan materi bagi pemiliknya, namun tidak demikian kenyataannya. Kikir tak akan menambah harta dunia, apalagi kekayaan akhirat. Orang yang kikir akan luput dari doa malaikat untuk keberkahan orang yang mendermakan hartanya. Justru doa kebangkrutan tiap pagi yang tertuju untuknya. Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Nabi bersabda,
”Tiada datang pagi hari yang dilalui hamba Allah, melainkan ada dua malaikat turun. Salah satunya berdoa, ”Ya Allah berilah ganti (yang lebih baik) baik orang yang berderma.” Sedangkan satu malaikat lagi berdoa, ”Ya Allah, timpakanlah kebangkrutan atas orang yang menahan pemberian.” (HR. Bukhari)
Yang paling parah, sifat kikir menyebabkan seseorang miskin pahala kebaikan. Karena sifat ini merusak hasrat akhirat, menjauhkan pemiliknya dari keberuntungan yang hakiki dan abadi. Hasratnya hanya tertuju untuk dunia yang hina dan fana. Maka kelak, sebagai balasan bagi mereka,
Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. at-Taubah: 35)
Allahumma qinaa syuhha anfusanaa”, ya Allah, jauhkanlah diri kami dari kekikiran. Amien. 
Baca Selengkapnya - Kikir, Membuat Hidup Makin Fakir

Sabtu, 16 Juli 2011

Alumni Universitas Ramadhan: Calon Ahli Syurga

Setiap manusia merindukan kebahagiaan. Tidak ada kebahagian kecuali masuk surga. Dan Allah swt. telah memastikan di dalam Al-Qur’an bahwa di akhirat hanya ada dua pilihan: surga arau neraka. Dan sudah maklum bahwa surga adalah tempat kebahagiaan abadi, sebagaimana juga maklum bahwa neraka adalah tempat kesengsaraan abadi. Berdasarkan ini jelas bahwa setiap manusia sebenarnya bercita-cita mendapatkan surga. Apapun istilahnya, diakui atau tidak, surga tetap menjadi dambaan setiap insan. Silahkan anda tanyakan kepada pemeluk-pemluk agama lain tentang konsep kebahagiaan yang mereka rindukan, mereka akan segera menjawab bahwa mereka mencitakan surga, sekalipun dengan istilah yang berbeda.
Di dalam Islam, Allah swt. sangat jelas menggariskan jalan ke surga. Iman adalah pondasi, dan ibadah adalah bangunan. Gabungan keduanya adalah jalan ke surga. Siapa yang beribadah tanpa iman, tidak akan sampai ke surga. Begitu juga sebaliknya. Di antara ibadah utama dalam Islam adalah puasa Ramadhan. Ramadhan adalah sebuah kesempatan emas bagi setiap insan-insan beriman untuk mendekatkan diri kepada Allah, Tuhannya. Siapa yang mengabaikannya ia akan menyesal seumur hidupnya. Ramadhan ibarat kepompong bagi ulat, maka ulat yang berhasil menekuni kesunyiannya dalam kepompong ia kelak akan terbang menjadi kupu-kupu. Ramadhan adalah pom bensin bagi setiap musafir yang hendak bepergian jauh. Maka siapa yang mengisi bensin dengan penuh, ia akan merasa aman dalam perjalanan. Ramadhan adalah universitas, di dalamnya seorang muslim benar-benar membina diri. Bila ia benar-benar sukses mengikuti segala rangkaian ibadah di dalamnya maka ia terjamin istiqomah seumur hidupnya. Dari keistiqomahan inilah ia akan terhantar kelak ke surga.
Ada tiga macam manusia dalam menjalani Ramadhan:
(1) Seorang yang menganggap Ramadhan sama dengan hari-hari biasa. Bedanya hanya ia berpuasa menahan lapar dan haus di siang hari. Sementara akhlaknya tetap bejat. Ibadah lainnya tidak ditegakkan. Contohnya, banyak orang yang berpuasa sekalipun ia tidak pernah shalat. Bahkan juga banyak orang yang siang harinya berpuasa sementara malamnya berbuat dosa besar. Orang seperti ini tergolong yang disebutkan dalam hadits: “Tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan haus.” Dengan kata lain, secara fikih puasa orang ini sah tetapi tidak ada pahalanya, karena digerogoti oleh dosa-dosanya.
(2) Seorang yang memang tidak memiliki kebanggaan sama sekali dengan Ramadhan. Dan tidak punya niat sama sekali untuk melaksanakan puasa di dalamnya. Maka selama Ramadhan ia tidak pernah berpuasa. Bukan hanya itu, ibadah-ibadah wajib lainnya juga diabaikan. Namanya saja ia seorang muslim, sementara hakikatnya tidak mencerminkan sebagai seorang muslim. Dalam istilah popular, orang seperti ini dikenal sebagai muslim KTP. Di manakah tempat mereka kelak di alam akhirat? Di surga atau di neraka? Allah yang Maha Tahu. Jika memang di dalam hatinya tidak ada iman sama sekali, maka selamanya ia masuk neraka. Sebaliknya jika masih ada iman sekalipun sebasar dzarrah di dalam hatinya, maka ia akan diangkat dari api neraka setelah dibakar sesuai dengan dosanya.
(3) Seorang yang menyadari makna kehambaannya kepada Allah. Dan menyadari bahwa Ramadhan adalah tamu agung yang datang untuk membuka kesempatan berharga untuk meningkatkan iman. Maka dengan datangnya Ramadhan ia benar-benar bersiap-siap menyambutnya. Lalu selama Ramadhan ia benar-benar mengisi semua waktu dengan kebaikan dan ketaatan. Lalu setelah Ramadhan, ia tetap istiqomah menjalankan ibadah seperti dalam kondisi Ramadhan. Orang seperti ini adalah benar-benar mengikuti jejak Rasulullah saw. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan ungkapan meneladani Rasulullah dalam Ramadhan.
Alumni Ramadhan adalam pribadi muslim sejati. Muslim yang tidak hanya mengamalkan Islam di Ramadhan saja, tetapi ia mengamalkannya selama hidup. Alumni Ramadhan tidak kenal Islam musiman. Maksdunya semangat mengamalkan Islam di musim haji saja, di bulan Ramadhan saja dan lain sebagainya. Melainkan ia benar-benar muslim sepanjang masa dan di mana saja. Sampai ia kembali menghadap Allah swt. Inilah sebenarnya ajaran Islam seperti yang diwahyukan kepada Rasulullah saw. Yaitu Islam universal dan komprehensif. Bukan Islam tradisi atau Islam versi golongan tertentu. Kita kini sangat membutuhkan hadirnya Islam yang murni, seperti yang diwahyukan kepada Nabi saw. dan seperti yang dipahami oleh para sahabat. Yaitu Islam yang mencakup semua kehidupan bukan Islam parsial. Sebab hanya dengan pemahaman yang lengkap inilah, umat Islam pertama bangkit memimpin dunia, begitu juga hanya dengan pemahaman yang lengkap inilah, umat Islam kelak akan bangkit kembali dan menjadi pioner keselamatan bagi kemanusiaan di seluruh alam.  Wallahu a’lam bishshawab.
Semoga bermanfaat...!
Baca Selengkapnya - Alumni Universitas Ramadhan: Calon Ahli Syurga