Di
negeri yang kita cintai ini, hampir setiap tahunnya datangnya bulan
suci Ramadhan dibarengi dengan adanya perselisihan diantara kaum
muslimin mengenai penentuan awal dan juga akhir Ramadhan. Sebagian orang
menggunakan metode ru’yatul hilal dan sebagian lagi lebih mempercayai hisab falaki
atau perhitungan astronomis. Debat dan diskusi hampir selalu bergulir
setiap tahunnya, bahkan lebih dari itu, sebagian orang menjadikan
masalah ini sebagai patokan wala’ wal bara’, masing-masing mengunggulkan golongan dan ormasnya. Sebagiannya lagi menjadikan hal ini sebagai bahan pertengkaran dan caci-maki. Bagaimana sebenarnya sikap yang benar?
Mengenal Ijma’
Sebelumnya membahas inti permasalahan, sudah semestinya kita membahas
sedikit tenttang ijma’, karena memiliki kaitan erat dalam persoalan
ini. Al Ijma’ (الإجماع) secara bahasa artinya kesepakatan. Sedangkan
secara istilah,
اتفاق مجتهدي عصرٍ من العصور من أمة محمد – صلى الله عليه وسلم – بعد وفاته على أمر ديني
“Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid dari beberapa generasi umat Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi Wasallam setelah wafatnya beliau dalam masalah agama”
(lihat
Ma’alim Ushul Fiqh, 156).
Para ulama sepakat bahwa ijma’ adalah hujjah (dalil ) dalam syari’at
yang wajib diikuti dan diamalkan. Diantara dalil yang mendasari bahwa
ijma’ adalah dalil diantaranya,
- firman Allah Ta’ala:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بالله
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman
kepada Allah” (QS. Al Imran: 110).
Allah Ta’ala menyifati umat Muhammad sebagai umat yang menyuruh
pada semua kebaikan dan mengingkari semua kemungkaran. Jika umat ini
bersepakat untuk menyatakan suatu kesesatan maka Allah tidak akan
menyifati demikian. Sehingga apa-apa yang disepakati oleh umat ini
adalah sebuah kebenaran. Selain itu umat ini juga tidak akan mungkin
bersepakat dalam kesesatan (Ma’alim Ushul Fiqh, 161).
- Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
عليكمْ بالجماعةِ، وإياكم والفرقةَ، فإنَّ الشيطانَ مع الواحدِ وهو من الاثنينِ أبعدُ . من أراد بحبوحةَ الجنةِ فلْيلزمِ الجماعةَ
“Berpeganglah pada Al Jama’ah dan tinggalkan kekelompokan. Karena
setan itu bersama orang yang bersendirian dan setan akan berada lebih
jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang menginginkan bagian
tengah surga, maka berpeganglah pada Al Jama’ah” (HR. Tirmidzi no.2165, ia berkata: “Hasan shahih gharib dengan sanad ini”)
Hadits ini memerintahkan kita untuk berpegang pada Al Jama’ah. Dan
diantara makna Al Jama’ah adalah kaum muslimin jika sepakat pada suatu
perkara. Akan dirinci nanti.
- Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
إن أمتي لا تجتمع على ضلالة
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan” (HR. At Tirmidzi 2166, ia berkata: ‘hasan gharib’).
Hadits ini jelas menunjukkan bahwa kesepakatan umat adalah kebenaran.
Perihal ketetapan ijma’ sebagai dalil yang dipakai dalam syariat,
cukup gamblang dan banyak dijelaskan di buku-buku ushul fiqih semua
madzhab. Maka ijma adalah dalil, dan seorang mukmin tidak boleh
menyelisihi dalil. Bahkan jika merujuk pada surat An Nisa ayat 115,
keras sekali ancaman bagi orang yang menyelisihi ijma. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata:
وإذا ثبت إجماع الأمة على حكم من الأحكام لم يكن لأحد أن يخرج عن إجماعهم
“Jika telah diketahui secara valid bahwa umat ini menyepakati hukum
suatu perkara, maka tidak diperkenankan bagi siapa pun untuk keluar dari
ijma tersebut” (
Majmu’ Fatawa 10/20, dinukil dari
Ma’alim Ushul Fiqh, 173)
Lalu apakah boleh ulama di zaman sekarang menyelisihi ijma para ulama
terdahulu yang sudah disepakati? Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
menjawab: “hal-hal yang sudah terdapat ijma para ulama terdahulu tidak
boleh diselisihi bahkan wajib berdalil dengannya. Adapun masalah-masalah
yang belum ada ijma sebelumnya maka ulama zaman sekarang dapat
ber-ijtihad dalam hal tersebut. Jika mereka bersepakat, maka kita bisa
katakan bahwa ulama zaman sekarang telah sepakat dalam hal ini dan itu”
(sumber lihat
di sini).
Para Ulama Ijma’ Mengenai Penentuan Awal Dan Akhir Ramadhan
Syariat telah menetapkan bahwa untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan itu dengan 2 cara:
ru’yatul hilal atau menggenapkan Sya’ban 30 hari. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
صوموا لرؤيَتِهِ وأفطِروا لرؤيتِهِ ، فإنْ غبِّيَ عليكم فأكملوا عدةَ شعبانَ ثلاثينَ
“
Berpuasalah karena melihatnya (hilal), berbukalah karena
melihatnya (hilal), jika penglihatan kalian terhalang maka sempurnakan
bulan Sya’ban jadi 30 hari” (HR. Bukhari 1909, Muslim 1081)
Dan para ulama telah ber-ijma’ mengenai hal ini. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau
Fathul Baari (4/123) mengatakan:
وقال ابن الصباغ أما
بالحساب فلا يلزمه بلا خلاف بين أصحابنا قلت ونقل بن المنذر قبله الإجماع
على ذلك فقال في الأشراف صوم يوم الثلاثين من شعبان إذا لم ير الهلال مع
الصحو لا يجب بإجماع الأمة
“Ibnu As Sabbagh berkata: ‘Adapun metode hisab, tidak ada ulama
mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan’.
Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf:
‘Puasa di hari ketiga puluh bulan Sya’ban tidaklah wajib jika hilal
belum terlihat ketika cuaca cerah,
menurut ijma para ulama‘”
Ibnu Taimiyah dalam
Majmu’ Fatawa (25/132) berkata:
فإنا نعلم بالاضطرار من
دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو الإبلاء أو
غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز
. والنصوص المستفيضة عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع
المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف قديم أصلاً ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض
المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال
جاز للحاسب أن يعمل في حق نفسه بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام
وإلا فلا . وهذا القول وإن كان مقيداً بالإغمام ومختصاً بالحاسب فهو شاذ
مسبوق بالإجماع على خلافه . فأما اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم
العام به فما قاله مسلم ا.هـ
“Kita semua, secara gamblang sudah mengetahui bersama bahwa dalam Islam, penentuan awal puasa,
haji,
iddah, batas bulan, atau hal lain yang berkaitan dengan hilal, jika
digunakan metode hisab dalam kondisi hilal terlihat maupun tidak,
hukumnya adalah haram. Banyak nash dari Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal ini.
Para ulama pun telah bersepakat akan hal ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama terdahulu maupun di masa sesudahnya, kecuali sebagian ulama
fiqih mutaakhirin
setelah tahun 300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika
hilal tidak nampak, untuk keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika
sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan ru’yah maka mereka puasa, jika
tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya digunakan ketika
hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan
pendapat
nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya
ijma’. Adapun menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca
cerah, dan digunakan untuk masyarakat secara umum,
tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian”.
Ibnu Hajar dalam
Fathul Baari (4/127) juga mengatakan:
وقد ذهب قوم إلى الرجوع
إلى أهل التسيير في ذلك وهم الروافض، ونقل عن بعض الفقهاء موافقتهم. قال
الباجي: وإجماع السلف الصالح حجة عليهم ا.هـ
“Sebagian orang ada yang merujuk pada para ahlut
tas-yir (penjelajah) dalam masalah ini, yaitu kaum syi’ah rafidhah. Sebagian ahli
fiqih pun ada yang membeo kepada mereka. Al Baaji berkata: ‘
Ijma salafus shalih sudah cukup sebagai bantahan bagi mereka’”.
Dan masih banyak nukilan ijma’ mengenai hal ini. Menunjukkan bahwa
masalah ini bukanlah masalah yang diperselisihkan para ulama, atau
dengan kata lain bukan masalah
khilafiyah diantara para ulama.
Dengan demikian sebagaimana sudah dijelaskan di atas mengenai wajibnya
berpegang pada ijma’, hendaknya setiap muslim tidak menyelisihi ijma’
para ulama dalam masalah penentuan awal dan akhir Ramadhan.
Perselisihan Itu Banyak, Solusinya Kembali Kepada Dalil
Ketahuilah bahwa
khilafiyah (perselisihan) dalam masalah agama
itu banyak, tidak hanya masalah penentuan awal Ramadhan saja. Dari segi
siapa yang berselisih,
khilafiyah dapat kita kelompokkan menjadi 2:
- Khilafiyah diantara ulama.
- Khilafiyah diantara orang awwam (umat secara umum)
Sehingga kita sering dapati masalah-masalah yang para ulama tidak
berselisih tentangnya, namun orang-orang awam memperselisihkannya.
Demikian juga masalah-masalah yang sudah terdapat dalil yang terang
benderang, namun ternyata di tengah masyarakat menjadi perselisihan
juga.
Dengan demikian masalah khilafiyah itu menjadi sangat banyak, karena
bagi orang awam hampir tidak ada masalah yang lepas dari perselisihan.
Bahkan perkara-perkara yang sudah diterima secara luas kebenarannya pun
masih ada saja segelintir orang yang memperselisihkan. Contohnya
mengenai wajibnya shalat dan wajibnya memakai jilbab, ada saja sebagian
orang awam yang memperselisihkannya. Oleh karena itu Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أوصيكم بتقوى الله والسمع
والطاعة وإن عبدا حبشيا ، فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا ،
فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين تمسكوا بها ، وعضوا عليها
بًالنواجذ ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة
“
Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, juga
agar mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun ia budak Habasyah.
Karena barangsiapa yang hidup sepeninggalku nanti akan melihat banyak
perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang pada sunnah-ku dan sunnah
Khulafa Ar Rasyidin yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Peganglah
dengan erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham. Dan hendaknya kalian
menjauhi perkara yang diada-adakan, karena yang diada-adakan dalam agama
itu bid’ah dan semua bid’ah itu sesat” (HR. Abu Daud, 4607, dishahihkan Al Albani dalam
Silsilah Ash Shahihah 2735)
Ternyata perselisihan yang banyak ini sudah dikabarkan oleh Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam, dan beliau sudah memberikan solusinya. Allah Ta’ala juga berfiman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya” (QS. An Nisa: 59)
Jika demikian solusi yang ditawarkan oleh Allah dan Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan yaitu :
- Kembali kepada Al Qur’an
- Kembali kepada sunnah Nabi melalui hadits-haditsnya,
- Kembali kepada pemahaman para Khulafa Ar Rasyidin dan juga para sahabat Nabi
- Meninggalkan perkara bid’ah
Maka, terkait perselisihan kaum muslimin dalam masalah penentuan awal
dan akhir Ramadhan, solusinya adalah kembali kepada dalil-dalil syar’i
sesuai apa yang dipahami oleh para sahabat Nabi dan disepakati oleh para
ulama Islam yang memerintahkan untuk menggunakan
ru’yatul hilal dalam penentuan awal dan akhir
ramadhan.
Jadi, bukan kembali kepada keyakinan masing-masing, bukan kembali pada
pendapat ormas, pendapat partai atau pendapat tokoh agama. Setiap mukmin
hendaknya
tasliim, menerima dengan lapang dada dalil-dalil yang telah ditetapkan syariat dalam masalah ini serta menerima dengan lapang dada
ijma-nya para ulama Islam.
Mentoleransi Semua Pendapat, Demi Persatuan?
Sebagian orang mengajak kaum muslimin untuk tidak mengindahkan
perselisihan yang ada dan lebih mengedepankan persatuan secara fisik.
Dengan kata lain, mereka menginginkan apapun keyakinan dan penyimpangan
yang ada di tengah kaum muslimin, entah benar atau salah, tidak perlu di
gugat dan tidak perlu dipermasalahkan demi terciptanya persatuan secara
fisik. Tentu bukan demikian persatuan yang diajarkan oleh Islam. Bahkan
demikianlah persatuan ala Yahudi. Allah
Ta’ala menceritakan tentang kaum Yahudi:
بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ
“
Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira
mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu
karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti” (QS. Al Hasyr: 14).
Tentu saja persatuan secara fisik itu perlu dan penting. Allah
Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di
jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu
bangunan yang tersusun kokoh” (QS. Ash Shaf: 4)
Namun persatuan yang Islami adalah persatuan yang di dalamnya ada
sikap saling menasehati, karena Islam adalah agama nasehat dan
mengajarkan untuk mengingkari kemungkaran. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ن رأى مِنكُم مُنكرًا فليغيِّرهُ بيدِهِ ، فإن لَم يَستَطِع فبِلسانِهِ ، فإن لم يستَطِعْ فبقَلبِهِ . وذلِكَ أضعَفُ الإيمانِ
“
Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan
tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka
dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim 49)
Andai berbagai keyakinan batil dan penyimpangan syariat ditengah umat
kita toleransi, tidak diingkari, tidak diperbaiki, demi persatuan
secara fisik, maka mau kita kemanakan hadits Nabi yang mulia ini?
Sesama muslim adalah
auliya bagi muslim yang lain. Namun renungkanlah firman Allah
Ta’ala berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi wali bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar” (Qs. At Taubah: 71)
Auliya dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (
Aysar At Tafasir, 305). Lihatlah dalam ayat ini, sesama muslim adalah
auliya, namun mereka juga saling menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah pada yang munkar.
Mengikuti Ijma Dan Taat Penguasa, Tuntutan Persatuan Kaum Muslimin
Persatuan yang diajarkan Islam adalah bersatu dalam Al Jama’ah, yaitu bersatunya umat Islam dalam kebenaran. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
عليكم بالجماعة ، وإياكم
والفرقة ، فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد .من أراد بحبوحة
الجنة فليلزم الجماعة .ن سرته حسنته وساءته سيئته فذلكم المؤمن
“
Berpeganglah pada Al Jama’ah dan tinggalkan kekelompokan. Karena
setan itu bersama orang yang bersendirian dan setan akan berada lebih
jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang menginginkan bagian
tengah surga, maka berpeganglah pada Al Jama’ah. Barangsiapa merasa
senang bisa melakukan amal kebajikan dan bersusah hati manakala berbuat
maksiat maka itulah seorang mu’min” (HR. Tirmidzi no.2165, ia berkata: “Hasan shahih gharib dengan sanad ini”)
Al Jama’ah bukanlah nama sekte, nama ormas, nama partai atau madzhab tertentu. Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud
Radhiallahu’anhu, menafsirkan istilah Al Jama’ah:
الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك
“Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau sendirian” (Dinukil dari
Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Asy Syaithan, 1/70)
Dan salah satu makna dan ciri dari Al Jama’ah adalah orang-orang yang
mengikuti ijma’ dan bersatu dibawah penguasa kaum muslimin yang sah.
Dengan kata lain, mengikuti ijma’ dan taat pada penguasa adalah tuntutan
untuk mewujudkan persatuan yang benar. Ini dijelaskan oleh Imam Asy
Syathibi
rahimahullah: “Para ulama berbeda pendapat mengenai makna Al Jama’ah yang ada dalam hadits-hadits dalam lima pendapat:
- As sawadul a’zham dari umat Islam. Termasuk dalam makna ini
para imam mujtahid, para ulama, serta ahli syariah yang mengamalkan
ilmunya. Adapun selain mereka juga dimasukkan dalam makna ini karena
diasumsikan hanya mengikuti orang-orang tadi”
- Para imam mujtahid. Dalam makna ini, tidak termasuk orang-orang yang
bukan imam mujtahid karena mereka hakikatnya adalah ahli taqlid. Maka
barangsiapa yang beramal dengan keluar dari pendapat para imam mujtahid,
lalu mati, maka matinya sebagai bangkai jahiliyah. Dalam makna ini
tidak termasuk juga seorang pun dari ahlul bid’ah (artinya, adanya
pendapat yang beda dari ahli bidah tidaklah mempengaruhi keabsahan ijma,
ed).
- Para sahabat Nabi saja. Makna ini sesuai dengan riwayat dari Nabi yang menafsirkan makna Al Jama’ah, yaitu:
ما أنا عليه وأصحابي
“Siapa saja yang berpegang padaku dan para sahabatku”
- Umat Islam jika bersepakat dalam sebuah perkara (baca: ijma’). Maka
wajib bagi orang-orang yang menyimpang untuk mengikuti mereka. Asy
Syathibi lalu memberi catatan: “Makna ini sebenarnya kembali pada makna
kedua (para imam mujtahid), dan berkonsekuensi sama seperti konsekuensi
dari makna kedua. Atau kembali pada makna pertama, dan inilah yang lebih
nampak. Dan secara makna pun, sama seperti makna pertama. Karena sudah
pasti butuh peran para imam mujtahid di antara mereka barulah bisa
terwujud umat tidak akan bersatu dalam kesesatan, bahkan merekalah
golongan yang selamat”
- Pendapat yang dipilih Imam Ath Thabari, yaitu bahwa Al Jama’ah
adalah jama’ah kaum muslimin yang berkumpul di bawah pemerintahan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
memerintahkan ummat untuk berpegang pada pemerintahnya dan melarang
memecah belah apa yang telah dipersatukan oleh umat sebelumnya.
Dengan demikian, jika memang tulus ikhlas ingin mewujudkan persatuan
kaum muslimin dan menjaga keutuhan kaum muslimin dalam masalah penentuan
awal dan akhir Ramadhan, hendaknya kaum muslimin semuanya
tasliim (berlapang dada) untuk mengikuti
ijma’ ulama dalam masalah ini.
Selain itu, hendaknya kaum muslimin mendengar dan taat kepada
pemerintah kaum Muslimin yang sah selama dalam perkara yang ma’ruf. Dan
alhamdulillah pemerintah kita dalam hal ini sejalan dengan ijma’ ulama. Dan para ulama juga menjelaskan bahwa penentuan awal dan akhir
Ramadhan adalah urusan penguasa, keputusannya di tangan penguasa. Berdasarkan hadits:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“
Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri
adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika
orang-orang menyembelih” (HR. Tirmidzi 632, Ad Daruquthni 385)
As Sindi menjelaskan, “Nampak dari hadits ini bahwa urusan waktu
puasa,
lebaran dan idul adha, bukanlah urusan masing-masing individu, dan
tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah urusan imam
(pemerintah) dan al jama’ah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang
untuk tunduk kepada imam dan al jama’ah dalam urusan ini. Dari
hadits
ini juga, jika seseorang melihat hilal namun imam menolak
persaksiannya, maka hendaknya orang itu tidak menetapkan sesuatu bagi
dirinya sendiri, melainkan ia hendaknya mengikuti al jama’ah” (
Hasyiah As Sindi, 1/509). Silakan simak
artikel ini untuk pemaparan lebih lengkapnya.
Perselisihan bukan alasan untuk berbuat zhalim
‘Ala kulli haal, apapun perselisihan yang terjadi di antara
kaum muslimin, tidak dibenarkan menjadikannya alasan untuk berbuat
zhalim. Misalnya dalam masalah penentuan awal dan akhir
Ramadhan, walaupun telah jelas kesalahan sebagian orang yang menggunakan metode
hisab falaki,
tetap tidak dibenarkan berbuat kezhaliman kepada orang-orang yang
berpendapat demikian. Ataupun sebaliknya, orang-orang yang menggunakan
metode
hisab falaki pun tidak boleh berbuat zhalim kepada selainnya. Zhalim itu haram hukumnya. Allah
Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“
Allah tidak mencintai orang-orang yang zhalim” (QS. Al Imran: 57)
Allah
Ta’ala juga berfirman dalam sebuah
hadits qudsi:
يا عبادي ! إني حرَّمتُ الظلمَ على نفسي وجعلتُه بينكم محرَّمًا . فلا تظَّالموا
“
Wahai hamba-Ku, Aku haramkan bagiku kezhaliman, dan juga telah
Aku jadikan itu haram bagi kalian. Maka janganlah kalian saling berbuat
zhalim” (HR. Muslim 2577).
Zhalim artinya menempatkan sesuai bukan pada tempatnya, berbuat
sesuatu tanpa hak. Yang termasuk perbuatan zhalim terkait masalah ini
diantaranya:
- Berdebat kusir yang didasari fanatik golongan tanpa dasar ilmu agama
- Saling mencela dan mencaci
- Saling memboikot, tidak mau saling bicara, tidak mau saling bermuamalah
- Saling bertengkar dan melukai
- Atau bahkan saling mengkafirkan
Perselisihan, sebagaimana sudah dijelaskan, itu banyak dan banyak
pula jenisnya. Ada perselisihan yang wajib ditoleransi masing-masing
pendapatnya, ada pula perselisihan yang tidak bisa ditoleransi karena
kebenarannya sudah jelas. Perselisihan pun bertingkat-tingkat level
kesalahan dan tingkat pengingkarannya. Dan dalam semuanya itu tidak
diperkenankan berbuat kezhaliman. Orang yang mempelajari
ilmu agama dengan mendalam akan mengetahui bagaimana menyikapi suatu perselisihan dengan sikap yang benar dan porsi yang pas.
Hendaknya dalam perselisihan kita saling menasehati dengan
mengedepankan kasih sayang, saling menginginkan kebaikan pada diri orang
yang dinasehati. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ
سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk” (QS. An-Nahl:125)
Jangankan dalam perselisihan masalah hilal-hisab yang notabene merupakan
syubhat
dikalangan orang pada umumnya, bahkan terhadap perkara-pekara yang
jelas kebenaran pun semisal menasehati orang-orang yang meninggalkan
shalat,
tidak mau memakai jilbab, sering melakukan kesyirikan, sering melakukan
kebid’ahan kita tetap mengedepankan cara-cara yang santun, penuh kasih
sayang, dan menginginkan kebaikan atas mereka. Bukan cara-cara kasar,
sembrono, yang menimbulkan pertikaian atau kezhaliman.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان
“
Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu
karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah,
imannya telah sempurna” (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Boleh jadi dalam satu sisi kita membenci saudara kita karena satu
hal, namun di sisi lain banyak hal-hal lain yang menjadi alasan kita
untuk mencintainya. Boleh jadi kita membenci saudara kita karena
penyimpangan dan kemungkaran yang ia lakukan, namun kita masih memiliki
porsi cinta terhadapnya karena ia beriman kepada Allah, karena ibadahnya
kepada Allah, karena ketaatannya dalam hal lain kepada Allah.
Semoga apa yang sedikit ini bermanfaat, semoga kaum muslimin tetap
bersatu padu dalam kebenaran, saling mendukung dan menjunjung satu sama
lain. Saling menopang dan bertumpu bagaikan satu jasad.
مَثَلُ المُؤْمِنِيْنَ فِي
تَوَادِّهِمْ وَ تَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الجَسَدِ إِذَا اشْتَكىَ مِنْهُ
عُضْوٌ تًَدَاعَى سَائِرُ الجَسَدِ.
“
Kaum mukminin itu dalam masalah cinta dan kasih sayang mereka
bagaikan satu jasad, apabila salah satu anggota badan merasa sakit, maka
seluruh badan merasakannya“ (HR Muslim 2586).
Wabillahit Taufiiq
—
Penulis: Yulian Purnama