Selasa, 19 Oktober 2010

JILBAB DAN KECANTIKAN

Sebarkan Tulisan ini :
Mendengar kata cantik, yang terbayang adalah seorang wanita yang anggota wajahnya (mata, hidung dan bibir) proporsional, sedap dipandang mata. Cantik juga dikaitkan dengan kulit yang terawatt baik, rambut hitam bercahaya, bentuk tubuh langsing dan gaya berbusana yang up to date.

Bicara soal busana, seringkali yang dituduh sebagai penyebab ketidakcantikan seorang adalah jilbab. Dengan pakaian yang syar’i, memang bentuk tubuhnya yang langsing tak tampak lagi.

Kecantikan fisik merupakan salah satu nikmat dari Allah yang dikaruniakan kepada sebagian saudari kita. Misalnya saja, suatu ketika kita diberikan nikmat oleh Allah berupa harta yang sangat berharga. Tentunya kita hati-hati menjaga harta itu, melindunginya dari jamahan orang lain, tidak menghamburkan pada setiap orang, dan hanya mempergunakan di saat yang memang benar-benar tepat. Lalu, bagaimana jika kenikmatan itu berupa kenikmatan fisik, khususnya kecantikan seorang wanita?

Mengobral kecantikan fisik pada setiap orang, seolah membiarkan barang yang amat berharga dijadikan keroyokan banyak orang. Dengan begitu, status berharga pun jadi barang rendah dan murah, karena setiap orang akan mudah menikmatinya, beginikah yang diinginkan para wanita?

Hatinya Belum Siap Untuk Berjilbab

Siapapun yang berfikiran dan berpendapat demikian, maka wajiblah baginya untuk memohon ampun kepada Allah ta'ala. Memohon ampun atas kejahilannya dalam memahami syariat yang mulia ini. Jika agama hanya berlandaskan pada akal dan perasaan maka rusaklah agama ini.

Coba anda bayangkan, bila agama hanya didasarkan kepada orang-orang yang hatinya baik dan suci, maka untuk apa perlu menjalankan perintah Allah. Lihatlah di sekitar kita ada orang-orang yang beragama Nasrani, Hindu atau Budha dan orang kafir lainnya, Perhatikan dengan seksama, ada di antara mereka yang sangat baik hatinya, lemah lembut, dermawan, bijaksana. Apakah Anda setuju untuk mengatakan mereka adalah muslim? Tentu akal Anda akan mengatakan " Tidak!” Karena mereka tidak mengucapkan syahadat, mereka tidak memeluk Islam, dan mereka menginkari ayat-ayat Allah. Nah, begitu juga dengan Islam. Al-Qur`an mengajarkan kita senantiasa taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Aturan yang diajarkan didalamnya ada perintah سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا (sami`na wa atho`na) artinya kami mendengar dan kami patuhi. Sebagaimana firman Allah berikut ini:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [سورة النور: 51]

”Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka[1045] ialah ucapan. "Kami mendengar, dan Kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung (QS. Al-Nuur: 51)

Bukan justru sebaliknya tatkala Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan para muslimah untuk menutup aurat seperti dalam Qs. An-Nuur : 31, maka jawabannya adalah سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا (sami`na wa ashoina) artinya kami mendengar tetapi tidak kami patuhi. Inilah ciri-ciri orang Yahudi yang diceritakan dalam surat Al-Baqarah ayat 93. Oleh karena itu, di zaman Rasulullah para sahabiyah begitu mendengar ayat ini:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا [سورة الأحزاب: 95]

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, ‘Yang demikian itu supaya mereka mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu…”(Al-Ahzab : 59)

Para muslima saat itu langsung merobek selendang tebal mereka untuk dibuat menjadi kerudung. Tanpa harus menunggu kesiapan hati mereka.
Ummu Salamah bercerita ketika ayat ini turun, maka wanita Anshar keluar dari rumah mereka dengan memakai kerudung, seakan-akan di atas kepala mereka ada burung gagak.

Kecantikan fisik memang merupakan nikmat dari Allah. Nikmat akan bertambah jika pandai-pandai bersyukur kepada-Nya. Sebaliknya, nikmat bias berubah menjadi siksaan jika yang diberi nikmat tidak bias mensyukurinya.

Ucapan “Alhamdulillah, wajah saya cantik,” saja, tidaklah cukup. Syukur yang benar adalah menggunakan nikmat itu untuk taat kepada Allah. Mensyukuri kecantikan fisik adalah dengan memperlakukan kenikmatan tersebut agar senantiasa sesuai dengan perintah Allah.

Berjilbab Bukan Hanya Untuk Kecantikan

Berhijab itu memang cantik di mata Allah. “Dengan berjilbab, kulit mereka kan jadi tertutupi, tidak kepanasan, sehingga tidak menjadi coklat dan kusam. Nah dengan demikian mereka pun kan jadi tambah cantik”. Ini adalah salah satu hikmah dalam menutupi aurat. Namun demikian, bukan berarti anda berjilbab niatnya hanya supaya kelihatan lebih cantik, bukan semata-mata niat karena ibadah kepada Allah. Wah, jika dimaknai seperti itu, amalan berjilbab pun jadi sia-sia.

Tidak bisa dipungkiri, saat ini memang masih ada muslimah yang berhijab dengan niat yang tidak benar. Salah satunya seperti supaya kelihatan cantik, atau untuk menjaga kecantikan kulit. Ada yang berhijab dengan niat menutupi cacat di tubuhnya. Ada pula yang berhijab agar terkesan sebagai wanita shalihah di mata masyarakat. Inilah yang keliru dan perlu diluruskan aga amal shalih kita tidak sia-sia.

Ingatlah! Niat yang benar harus disertai juga dengan perbuatan yang benar, begitupun juga sebaliknya. Sekalipun perbuatannya benar, namun niatnya salah maka semuannya itu akan kembali sesuai dengan apa yang diniatkannya. Rasulullah saw pun bersabda:

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله ِيَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ، وَ مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ [رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري و ابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]

Dari Amīr al-Mu’minīn, Abū Hafsh ‘Umar bin al-Khaththāb ra, dia menjelaskan bahwa dia mendengar Rasulullah Saw bersabda “Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan sampai kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijarahnya karena dunia yang ingin diperolehnya, atau wanita yang akan dinikahinya, ia pun akan mendapatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Muslimah yang seperti diatas memang masih banyak menjamur di negeri ini. Jilbab dalam pengertian mereka adalah ‘yang penting pakai kerudung’. Tidak perduli dengan kriteria lainnya. Jadilah mereka berjilbab tapi gaul yang kerudungnya mini, pakaiannya ketat, kakinya pun pake celana panjang sempit.

Walaupun niatnya sudah benar karena Allah, namun jilbab yang ia kenakan seperti itu, tetap saja belum sempurna.

Amal ibadah akan sempurna jika ada dua syarat, yaitu niatnya benar karena Allah, dan yang kedua sesuai dengan syariat.

Berikut ini ketentuan hijab yang syar’i:

1. Jilbab itu longgar, sehingga tidak memvisualisasikan lekuk-lekuk tubuh
2. Tebal, sehingga tidak kelihatan sedikitpun bagian tubuhnya, warna kulitnya misalnya.
3. Tidak memakai wangi-wangian
4. Tidak meniru model pakaian wanita kafir.
5. Tidak memilih warna kain yang mencolok, sehingga menjadi pusat perhatian orang.
6. Menutupi seluruh tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.

Semua muslimah -yang cantik sejak lahir ataupun tidak- harus mempercantik dirinya sesuai dengan syariat. Jika sudah mengamalkan, jadikanlah kenikmatan yang Allah berikan itu selalu dijaga, tidak diobral layaknya barang murahan. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar