Bulan Ramadhan adalah bulan istimewa. Umat muslim lebih
khusuk beribadah dan melipatgandakan kebajikan di dalamnya. Tujuan ibadah
ramadhan seperti digariskan oleh Allah dalam Alquran adalah agar kita meraih
ketakwaan (QS Al-Baqarah: 183)
Takwa tak hanya berhubungan dengan keintiman ibadah antara
makhluk dengan Khalik, tetapi juga berkorelasi erat dengan perbaikan kualitas
hidup dan kesejahteraan bangsa yang bertolak dari sikap beragama yang jujur dan
amanah sebagai manifestasi takwa.
Sering dijumpai dalam formulir CPNS termaktub syarat bagi
pelamar harus beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Namun realitasnya terma itu
abstrak sekaligus dalam banyak hal absurd, soalnya setelah resmi jadi PNS tetap
saja budaya korupsi marak meski ada syarat itu.
Banyak kalangan menganggap takwa berarti takut kepada Allah
dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Asusmsi semacam ini
sah-sah saja, tapi belum sepenuhnya mewakili esensi takwa, apalagi jika
dikaitkan dengan upaya mengaktualkan terma takwa ini tak hanya untuk kesalehan
individual, namun juga untuk melahirkan kesalehan sosial yang berdampak besar
bagi kemakmuran yang bersendikan keadilan.
Secara bahasa, takwa berasal dari kata 'wiqayah': memelihara
diri dari segala hal yang merusak dan merugikan diri kita. Allah swt berfirman:
(#qà)¨?$#ur ZpuZ÷FÏù w ¨ûtùÅÁè? tûïÏ%©!$# (#qßJn=sß öNä3YÏB Zp¢¹!%s{ ( (#þqßJn=÷æ$#ur cr& ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÎÈ
"Dan bertakwalah kamu (hindarilah) fitnah yang tak hanya
akan menimpa orang-orang zalim di antara kalian secara khusus." (al-Anfal: 25).
Menghindar
dan menjaga diri dari fitnah dan kemurkaan Allah dengan menjalankan sunnatullah
secara benar dalam tataran kosmos maupun sosial dan pranata hukum, juga adalah
bagian penting esensi takwa kepada Allah swt.
Negara dan bangsa kita yang mayoritas muslim ini mengalami
krisis keadilan dan penegakam hukum yang parah. Ajaran Islam yang dianut oleh
mayoritas bangsa ini harus proaktif mengatasi krisis tersebut. Salah satunya
dengan cara mem-breakdown terma Takwa ke dalam reformasi mental para penegak
hukum di negeri ini.
Oleh Alquran dinyatakan bersikap adil dalam menegakkan hukum
adalah wujud Takwa – I’diluu
huwa aqrabu littaqwa -
(al-Maidah: 8). Sikap tegas dan tanpa pandang bulu, meski diberlakukan terhadap
diri sendiri dan kerabatnya, dalam penegakan hukum hanya bisa dilakukan oleh
pemimpin yang taqwa kepada Allah,
* $pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. tûüÏBº§qs% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!#ypkà ¬! öqs9ur #n?tã öNä3Å¡àÿRr& Írr& ÈûøïyÏ9ºuqø9$# tûüÎ/tø%F{$#ur 4 bÎ) ïÆä3t $ÏYxî ÷rr& #ZÉ)sù ª!$$sù 4n<÷rr& $yJÍkÍ5 ( xsù (#qãèÎ7Fs? #uqolù;$# br& (#qä9Ï÷ès? 4 bÎ)ur (#ÿ¼âqù=s? ÷rr& (#qàÊÌ÷èè? ¨bÎ*sù ©!$# tb%x. $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #ZÎ6yz ÇÊÌÎÈ
"Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatnnya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (fakta-data) atau
enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan" (an-Nisa:135)
Dalam prakteknya, para pemimpin yang bertakwa seperti
Ali bin Abi Thalib berlaku tawadlu dan taat terhadap putusan hukum, meskipun
perkaranya untuk klaim baju besi yang dikuasai seorang Yahudi dikalahkan oleh
Qadhi Syuraih di sidang pengadilan. Pasalnya, sang khalifah mengajukan saksi
yaitu Hasan, putranya sendiri, dan Qanbar, pembantunya. Oleh Syuraih, saksi
dari kerabat seperti ini ditolak karena dianggap bisa menimbulkan bias.
Akhirnya sang Qadhi memenangkan si Yahudi, dan Khalifah Ali pun menerimanya
dengan ikhlas. Sikap tawadlu yang lahir dari takwa inilah justru memicu si
Yahudi masuk Islam.
"Duhai
Amirul Mukminin, anda mengajukan saya kepada Qadhi bawahan anda, tapi dia malah
memenangkan saya atas anda. Saya bersaksi bahwa ini adalah kebenaran dan saya
bersaksi tiada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah", ujar warga Yahudi itu. Subhanallah!
Demikianlah, hakikat dan fungsi takwa mewujud dalam keseharian dan pola tata laksana pemerintahan yang menjunjung tinggi hukum tanpa pandang bulu. Semoga "pelajaran" takwa dari sekolah Ramadhan ini dapat membekas dalam perilaku elit bangsa yang notabene mayoritas adalah muslim!
Demikianlah, hakikat dan fungsi takwa mewujud dalam keseharian dan pola tata laksana pemerintahan yang menjunjung tinggi hukum tanpa pandang bulu. Semoga "pelajaran" takwa dari sekolah Ramadhan ini dapat membekas dalam perilaku elit bangsa yang notabene mayoritas adalah muslim!
Semoga Bermanfaat !!
Hubungi kami di http://apotikkeluarga.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar